KONTEKSBERITA.com – Polisi menyebut sindikat perdagangan orang dalam kasus penjualan ginjal dengan jaringan internasional di Kecamatan Tarumaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, berhasil meraup omset sebesar Rp24,4 miliar.
Kombes Hengki Haryadi, Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya, mengungkapkan bahwa omset tersebut terkumpul sejak tahun 2019 dengan jumlah korban mencapai 122 orang.
“Total omset penjualan organ sebesar kurang lebih Rp24,4 miliar,” ungkap Hengki dalam konferensi pers pada Kamis (20/7).
Hengki juga mengungkapkan bahwa sindikat ini menjual organ ginjal korban-korbannya ke Kamboja.
Salah satu tersangka, berinisial H, memiliki peran penting dalam menghubungkan dengan pihak rumah sakit di Kamboja untuk proses transplantasi.
Dalam mengungkap kasus ini, Hengki menyebut bahwa polisi menemukan 14 orang yang hendak menjalani operasi transplantasi ginjal di Kamboja.
Polisi berusaha menyelamatkan para korban setelah mendapat informasi ini.
“Namun, upaya penyelamatan terhambat oleh birokrasi dan karena sindikat telah mencium keberadaan polisi, mereka memilih jalur darat ke Vietnam dan akhirnya tertangkap di Surabaya,” ungkap Hengki.
Hengki juga menambahkan bahwa salah satu hambatan dalam kasus ini adalah perbedaan hukum terkait perdagangan orang antara Indonesia dan Kamboja. Hal ini membuat operasi penyelamatan sulit dilakukan.
Sebelumnya, polisi telah menetapkan 12 orang sebagai tersangka kasus perdagangan orang dengan modus penjualan ginjal jaringan internasional di Kecamatan Tarumaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Irjen Karyoto, Kapolda Metro Jaya, menjelaskan bahwa belasan tersangka tersebut memiliki peran berbeda.
Sembilan di antaranya adalah sindikat dalam negeri yang berperan menampung para korban.
Satu tersangka lainnya merupakan sindikat dari luar negeri yang bertugas menghubungkan dengan pihak rumah sakit di Kamboja.
“Ada juga dua tersangka dari kalangan oknum, yang termasuk di dalamnya adalah anggota Polri dan Imigrasi,” tambah Karyoto dalam konferensi pers yang sama.
Selain itu, Kombes Hengki Haryadi juga mengungkapkan bahwa ada seorang anggota Polri bernama Aipda M yang terlibat dalam kasus ini.
M berperan dalam menghalangi proses penyidikan dan membantu sindikat untuk menghindari pengejaran polisi.
“Anggota tersebut berusaha merintangi penyidikan dengan berbagai cara, seperti menyuruh buang handphone dan berpindah-pindah tempat, agar para tersangka bisa lolos dari pengejaran polisi. Dia menerima uang sebesar Rp612 juta sebagai imbalan,” jelas Hengki.
Editor: Uje