KONTEKSBERITA.com – Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa pemerintah terus menggiatkan proses daur ulang sebagai upaya penanganan sampah plastik yang semakin mengkhawatirkan.
“Langkah pertama yang kami tempuh adalah memperketat kebijakan penggunaan kembali dan daur ulang. Tadi malam saya juga telah bertemu dengan Menteri Perindustrian untuk membahas langkah-langkah lanjutan,” ujar Menteri LH pada Senin (18/8/2025).
Beliau menjelaskan bahwa sampah plastik berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan yang serius apabila tidak ditangani secara menyeluruh.
Plastik sulit terurai secara alami, dan ketika terurai pun akan menghasilkan mikroplastik yang berbahaya bagi lingkungan.
“Plastik menjadi salah satu masalah utama karena banyak digunakan sebagai bahan sekali pakai. Selain sulit terurai, plastik juga mengandung bahan beracun yang membahayakan,” lanjutnya.
Sebagai bagian dari upaya penanganan, sejak 1 Januari 2025, Kementerian Lingkungan Hidup telah menghentikan impor plastik bekas (scrap plastik).
Selain itu, Menteri LH juga menekankan bahwa pengurangan penggunaan plastik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab produsen, khususnya yang masih menggunakan plastik sebagai bahan kemasan.
“Kami mendorong penerapan Extended Producer Responsibility (EPR). Saat ini masih bersifat sukarela, namun sedang kami upayakan agar menjadi kewajiban yang mengikat,” jelasnya.
Seluruh kebijakan ini merupakan bagian dari target nasional dalam penyelesaian permasalahan pengelolaan sampah yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
“Khusus untuk plastik, kami sedang menyusun langkah strategis yang lebih kuat. Presiden telah menargetkan agar persoalan ini terselesaikan pada tahun 2029,” ungkap Menteri Hanif.
Ia juga menyebutkan bahwa pihaknya telah melakukan verifikasi awal di tiga wilayah di Malang Raya untuk mengkaji kesiapan penerapan teknologi waste to energy.
“Peraturan presiden mengenai waste to energy sudah terbit. Teknologi ini ditujukan untuk daerah-daerah yang menghasilkan timbulan sampah harian minimal 1.000 ton,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa waste to energy merupakan langkah terakhir dalam penanganan sampah karena memerlukan persiapan yang sangat matang, termasuk dari segi pendanaan.
“Teknologi ini memiliki risiko tinggi dan biaya besar. Oleh karena itu, menurut saya, ini sebaiknya menjadi pilihan terakhir ketika kondisi darurat, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Jakarta,” pungkasnya.
(Red)