KONTEKSBERITA.com – Seorang buruh pabrik di Kota Bekasi mengaku kesulitan mendapatkan surat keterangan sakit dari Puskesmas Bantargebang meski telah menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Akibatnya, ia terancam pemotongan gaji karena dianggap mangkir kerja oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Peristiwa ini terjadi pada Kamis (10/7/2025), ketika seorang pria berusia 19 tahun mendatangi Puskesmas Bantargebang karena merasa tidak sehat. Setelah melalui proses pendaftaran, skrining, dan pemeriksaan dokter, ia diberikan resep obat dan mengambilnya di bagian apotek.
Pasien kemudian meminta surat keterangan sakit sebagai syarat administrasi untuk melapor ke perusahaan. Namun, yang diterbitkan Puskesmas hanyalah Surat Keterangan Berobat, bukan surat keterangan sakit yang menyatakan bahwa pasien tidak dapat bekerja.
Keesokan harinya, Jumat (11/7/2025), pasien tetap masuk kerja dan menyerahkan surat tersebut kepada pihak HRD. Namun, surat itu ditolak. Menurut HRD, surat keterangan berobat tidak cukup sebagai bukti absen sakit, kecuali disertai diagnosis dan salinan resep obat. Jika tidak, absensinya dianggap alpa dan dikenakan pemotongan gaji sebesar Rp500.000.
Pihak keluarga kemudian mendatangi Puskesmas Bantargebang untuk meminta klarifikasi dan surat keterangan sakit. Namun, permintaan itu ditolak. Salah satu dokter menyatakan bahwa surat yang dikeluarkan sudah sesuai dengan ketentuan dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
“Surat itu kami unduh dari aplikasi yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan. Kalau mau surat keterangan sakit, berobat saja ke klinik swasta,” ujar seorang dokter di Puskesmas Bantargebang.
Ketika dikonfirmasi, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi menyebut bahwa pemberian surat sakit merupakan kewenangan dokter, tergantung hasil pemeriksaan.
“Hanya dokter yang bisa menilai apakah pasien layak untuk diberikan surat istirahat atau tidak. Kalau menurut pemeriksaan pasien masih mampu bekerja, maka tidak diberikan surat keterangan sakit,” jelasnya melalui pesan WhatsApp pada Jumat (11/7).
Situasi ini menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Meski pasien diperiksa dan diberikan obat, namun tetap dianggap tidak sakit secara administratif oleh instansi kesehatan, yang kemudian berimbas pada kerugian secara finansial.
Kebijakan ini dinilai menyulitkan warga, terutama buruh harian yang mengandalkan surat resmi sebagai bukti absensi sakit. Masyarakat berharap ada kejelasan dan perbaikan sistem agar tidak terjadi kerugian ganda seperti ini di masa mendatang.
(Red/Sky)